Archive for the Uncategorized Category

Our Engagement

Posted in Uncategorized on October 15, 2013 by silentsection

The time to hide in the closet is up. We decided to just open up and announce it to the world, how happy we are to be engaged.

And yes, this is our real picture…..

Slipping

Posted in Uncategorized on May 23, 2011 by silentsection

Kami dulunya teman baik. Kemana-mana selalu berdua, nyasar berdua, beli game berdua, nyontek pun berdua.

Lalu dia tahu aku suka lelaki. Seorang teman yang lain bilang bahwa dia ketakutan denganku. Hanya saja waktu itu aku berusaha ‘menyembuhkan’ diriku. Jadi dia kembali mendekat.

Seiring berjalannya waktu, aku sadar bahwa itu bukan suatu penyakit atau kesalahan. Jadi aku mulai menerima diriku sendiri, mulai berdamai dengan diriku. Bukan berarti aku mengumumkan pada seluruh dunia tentang diriku. Hanya saja, dia tidak mengetahuinya.

Beberapa teman mulai tahu dan bisa menerima. Aku merasakan dorongan untuk jujur, karena dalam kelompok pertemanan itu, dia satu-satunya yang tidak tahu. Terus terang aku sedikit takut ketika akhirnya cerita. Tanggapannya klasik, “Apapun kamu, itu pilihan hidupmu. Aku nggak bisa merubahnya!”

Tapi statusnya di facebook setelah itu masih bernada homophobe. Dia menjauh dan menjaga jarak. Sampai akhirnya dia lepas dari genggaman. Dan, pergilah satu teman baikku.

Entahlah, aku semakin tidak ingin pulang dan menemui satu teman yang berubah menjadi musuh setelah mengetahui kenyataan yang sebenarnya.

Proses

Posted in Uncategorized on February 3, 2011 by silentsection

Ada anak debat baru, benar-benar baru. Aku sama sekali belum pernah ketemu. Tapi dia kontak lewat facebook karena diberi tahu senior-senior bahwa aku dulu dosen pengampu debat. Grrrrrrrh! Siyal! Saya kan sudah mau pensiun aja dari dunia perdebatan ituuuuu!

Nah, pas suatu kali, dia nanya, apakah aku kenal sama Cae, kok dia bisa ada di friend list di facebook-ku. Aduh, gimana nggak kenal dong? Cae kan emang sudah jadi teman sejak jaman SD, sudah jadi berasa kaya saudara sendiri. Eh, ternyata daku diajak bergosip sama dia bahwa si Cae itu gay. Ya ollo, orang buta juga tau kale. Lagian, Cae kan emang sudah open.

Tapi, si anak baru ini ternyata prejudicenya sama kaum LGBT itu sangat besar. Dan begitu tahu kalau aku kenal sudah lama, pertanyaannya adalah, “Berarti mas tahu dong prosesnya mas Cae jadi gay?”

Proses jadi gay? Aduhduhduhduh!! Anak ini pikirannya kemana aja yaa? Waktu aku terangin kalau itu bukan proses, dia malah nuduh aku akan kembali ke Indonesia dengan orientasi seksual yang berbeda karena “ketularan” oleh teman-temanku disini.

Ya elah! Jadi ingat cerita percakapan dua orang straight dan gay.

Straight : “Tell me when did you choose to be gay!”

Gay : “The same way you chose to be straight!”

(Gw nulis apaan sih ini??)

 

THiS Project

Posted in Uncategorized on January 18, 2011 by silentsection

Belajar dari pengalaman term yang lalu, dimana aku punya terlalu banyak waktu luang, aku memutuskan untuk mengikuti kegiatan yang ada. Untung saja ada pengumuman tentang kegiatan volunteering di London, di salah satu sekolah di sana. Well, karena memang backgroundku ada di pendidikan, masuk ke kelas lagi menjadi sebuah kerinduan.

Jadi, program apakah ini? Nama programnya THiS, kepanjangannya Tackling Homophobia in School. Kerja secara tim, datang ke sebuah sekolah dan memberi semacam penyuluhan, pendampingan, dan kompetisi. Yang cukup menarik adalah, anggota tim dari Cambridge ini tidak semuanya LGBT people. Beberapa di antara mereka itu straight yang merasa bahwa kesamaan kedudukan antara gay dan straight itu penting.

Salah satu anggota tim, cewek super manis, bercerita betapa dia mempertanyakan identitas dan seksualitasnya. Dia tahu bahwa dia tertarik dengan cewek, tapi pada masa mudanya dia takut untuk menjalaninya. Di sisi lain, dia juga tertarik dengan lelaki dan sudah berpacaran dengan banyak lelaki. Dia tahu bahwa dia bukan seorang lesbian, tapi untuk menyebut dirinya sebagai seorang biseksual, dia tidak punya hak untuk itu. Lha kencan dengan cewek aja nggak pernah.

Itu yang membuatku sadar dengan salah satu perkataan Cing, kenapa manusia suka memberi label ya?

(Istri) Pejabat dan Homophobia

Posted in Uncategorized on January 12, 2011 by silentsection

Mungkin postinganku kali ini bakal terasa kebablasan untuk sebagian besar orang, tapi saya semakin berharap bahwa saya bukan seorang warga negara Indonesia.

Semua dimulai dengan sebuah pandangan lain dalam melihat semua kasus yang terjadi di Indonesia. Pada hari-hari awal aku menapakkan kaki di Cambridge, aku sudah dihadapkan dengan sebuah peristiwa penyerangan dan pembubaran paksa Q! Film Festival. Suasana yang sangat lain sementara menanti dan melambaikan tangannya melalui pertemuan informal Sunday Social di sini. Tidak ada orang yang mencibir atau memicingkan matanya mendengar kata-kata gay atau lesbian. Semakin hari, semakin banyak pula peristiwa di Indonesia yang kupandang dari perspektif lain. Peristiwa geger Yogya dan pemerintah pusat, isu Gayus, pertandingan sepak bola Indonesia – Malaysia, dan yang terakhir upaya pemblokiran Blackberry. Sungguh, saya malu sendiri menjadi seorang Indonesia setelah membaca semua berita itu.

Tapi ada pula peristiwa-peristwa kecil yang semakin membuatku malu dan berharap bukan orang Indonesia. Beberapa hari setelah Natal, ada BBM dari seorang teman Indonesia yang kebetulan sedang mudik. Dia meminta bantuanku untuk menemani beberapa orang dosen sebuah institusi ternama di Bandung berkeliling Cambridge. Well, karena aku tidak ada kegiatan di hari itu, aku mengiyakan saja permintaan itu. Setelah berhubungan langsung dengan Pak Dw, PIC dari rombongan itu, mulailah kami janjian mau ketemu dimana.

Setelah bertemu dengan rombongan tersebut, ternyata ada atase pendidikan baru untuk KBRI UK. Pengalaman jalan-jalan dengan orang penting, lumayan lah. Tapi ternyata, jalan-jalan dengan (istri) pejabat itu menyebalkan. Waktu si bapak-bapak pejabat itu sibuk berkunjung ke beberapa fakultas untuk studi banding, ibu-ibu itu malah pada ribut ke diriku minta cepet-cepet diantar belanja. Aduuuuuuh!!!

Begitu kami sampai di City Centre, bapak-bapak pejabat dan beberapa ibu mulai bergerilya mencari oleh-oleh khas Cambridge. Entah buku terbitan Cambridge Press atau pernak-pernik yang berbau Cambridge. Maklum, mereka sudah tinggal di London sebelumnya, jadi sudah bisa membeli oleh-oleh yang lain disana. Eh, istri-istri pejabat ini malah ngabur ke Mark & Spencer untuk nyari obralan. Tentu saja mereka digoblok-goblokan sama pak supir. La di London aja ada Mark & Spencer kok,

Setelah selesai belanja belanji, kami semua menuju ke restoran untuk makan sore. Nah, disana beberapa bapak mulai membicarakan seorang transsexual yang mereka lihat di pasar. Dengan nada mengejek dan merendahkan, mereka mulai membuat beberapa komentar yang tidak menyenangkan tentangnya. Mungkin kalau masih di Indonesia, orang-orang masih bisa terima. Tapi dengan kondisi UK yang sangat welcome terhadap LGBT, komentar itu terasa panas di telingaku. Dengan nada netral, aku mulai berkata bahwa trans di Cambridge sangat dihargai. Bahkan ada seorang teman trans yang seorang kandidat Ph.D di bidang Astrophysics.

Bukannya salut, mereka malah mulai meleber ngomong tentang gay dan lesbian. Mulai bergosip tentang kolega mereka di universitas yang dicurigai gay. Sok memberi informasi, aku mulai bicara tentang CUSU (Cambridge University Student Union) LGBT, mereka malah menyalahkan universitas yang memberi tempat terhadap kelompok LGBT. Bahkan ketika sampai pada cerita seorang teman gay yang sudah ditawari menjadi dosen di Harvard University selepas dia lulus kuliah, mereka justru mengelus dada. Menurut mereka, itu sesuatu yang sangat disayangkan. “Sayang ya, pintar-pintar kok gay. Kasihan!”

Aduuuh! Dan derita kupingku tidak berhenti sampai disitu. Seorang bapak yang pernah studi di US dan seorang ibu yang pernah kuliah di luar negeri juga bercerita bagaimana semasa kuliah, mereka punya tetangga gay dan lesbian. Nah, sebagai orang yang seharusnya berpendidikan (dosen universitas bergengsi di Indonesia lo), aku heran mendengar pendapat mereka bahwa gay dan lesbian itu menular.

“Untung saya tidak tinggal lama di situ. Coba kalau lebih lama, bisa-bisa saya ketularan jadi gay!” kata si bapak.

“Aduh, kalau saya malah sudah saya anggap sahabat tu. Eh, ternyata dia lesbi. Jadi takut saya. Cepat-cepat saja saya menghindar tiap kali dia mau mendekati saya!!” sahut si ibu.

Aduuuuuuuuh! Jadi begini ya perlakuan mereka? Lalu apa kata mereka kalau tiba-tiba saat itu juga aku come out? Dengan perasaan mendidih, aku hanya diam saja sambil meneruskan makan. Saat itu juga, aku semakin malu menjadi orang Indonesia.

Pemerintah UK, boleh nggak saya apply visa pengungsi aja? Bener-bener males ni pulang ke Indonesia. Saya malu jadi orang Indonesia…..

2011 Minutes Update

Posted in Uncategorized on January 10, 2011 by silentsection

Hari ini tiba-tiba ada email yang masuk dan bertanya kapan sih blog ini diupdate lagi? Aih, ternyata ada juga yang setia baca blog ini. Memang sejak saya menginjakkan kaki di “tanah kemerdekaan” bagi cong ini, sudah banyak kejadian yang terjadi. Sebenarnya cukup banyak kejadian yang layak untuk ditulis di blog ini untuk di-share kepada teman-teman disini. Tapi ada beberapa faktor yang menjadi masalah.

Pertama, aku terlalu fokus menulis di blog yang lain, sehingga seolah blog ini terlupakan. Maaf semuanya, aku tidak menyangka kalau ternyata ada yang membaca. Maklum, semangat menulis agak kendor setelah banyak teman-teman blogger v.1.0 yang menghilang (alias teman-teman ngeblog dari awal). Kalau tidak menghilang, frekuensi menulis mereka juga mulai mengendur. Kedua, tidak bisa dipungkiri kesibukan (alias kesibukan hangout dan cruising, hehehe!) disini. Saya berjanji, akan kembali menulis lagi disini.

Sudah Januari 2011, tidak terasa sudah hampir 3 bulan semenjak aku menarikan jemari di atas keyboard dan mencoba menuangkan fikir ke dalam kata. Januari berarti tahun baru, kesempatan baru. Mau tidak mau, aku mengenang kembali tragedi yang terjadi di hari pertama 2010. Itu saat-saat dimana aku berpikir bahwa tidak ada lagi gunanya untuk meneruskan kehidupan. Tapi ternyata, sekarang aku ada di Inggris, tempat dimana aku bisa mengeksplorasi diriku dengan bebas. Menemukan ajining diri, kata orang Jawa. Dan memang, dengan berada jauh dari orang-orang yang mengenal diriku, kesempatan untuk melakukan itu sangat besar. Di tempat yang sama sekali asing inilah, aku menemukan diriku yang sebenarnya.

Sebagai sebuah kota kecil, Cambridge ternyata sangat jauh dari stigma pedesaan yang sangat kolot dan tidak bisa menerima perbedaan. Sungguh pun yang terjadi adalah mereka sangat terbuka dengan kaum LGBT. Banyak kegiatan yang cukup positif dari kelompok LGBT, dan tidak hanya terbatas pada clubbing dan party. Aku menemukan banyak teman-teman baik disini, dan aku menyadari, bahwa dari sisi biseksual-ku, aku lebih mudah tertarik pada lelaki. Seorang sahabat di Indonesia yang mendengar hal itu hanya menanggapi dengan, “Wajar lah, cinta pertama-mu memang standardnya sangat tinggi. Jadi cukup sulit bagimu untuk menemukan wanita yang sejajar dengannya. Tapi lain halnya dengan lelaki!” Hmmm, mungkin memang begitu kenyataannya.

Tahun baru ini juga membuka sebuah lembaran baru dalam hubungan. Persis di penghujung tahun 2010, ada sebuah peristiwa yang cukup mempengaruhi-ku. Ternyata hubungan jarak jauh yang kubina dengan si Akuntan Lucu tidak bisa bertahan. Dengan alasan bahwa dia sudah tidak lagi punya perasaan kepadaku, hubungan itu diakhiri. Seminggu sebelum kami putus secara resmi,  aku sudah tahu bahwa hubungan ini memang sudah seharusnya diakhiri. Kupikir karena aku sudah mengantisipasinya, aku bisa lebih kuat dalam menghadapi ini semua. Salah besar! Pada suatu acara makan malam, kontrol psikologisku melemah. Akibatnya, untuk pertama kalinya dalam hidup, aku mabuk. Dan lebih parah, aku mabuk hanya karena wine (padahal biasanya wine nggak pernah berpengaruh!)

Well, mungkin memang itu yang terbaik buat kami berdua. Mungkin ada rencana yang lebih indah di balik semua itu. Oh, dalam beberapa hari sepertinya akan ada update tentang volunteering against homophobia.

It Gets Better

Posted in Uncategorized on October 28, 2010 by silentsection

Semenjak punya banyak waktu luang karena beban studi yang cukup ringan, internet menjadi salah satu sumber hiburan yang ada. Kebetulan ada seorang teman yang mengirimkan email tentang It Gets Better project.

Ini adalah proyek dukungan terhadap remaja-remaja LGBT , berangkat dari banyaknya kasus bunuh diri remaja gay di US karena mengalami bullying. Banyak orang yang berpartisipasi dalam proyek ini, mulai dari orang biasa hingga selebriti, bahkan Barack Obama. Beberapa video yang kusaksikan cukup mengharukan, sampai kadang-kadang pengalaman-pengalaman yang lalu kembali lagi. Kadang air mata menitik karena berharap aku menyaksikan dan mendengarkan orang-orang ini dalam masa-masa pergulatan dengan diriku sendiri.

Dengan pertimbangan bahwa video-ku di youtube tidak pernah dilihat banyak orang, aku mengambil langkah nekat. Di suatu sore aku menatap layar laptop dan menghidupkan webcam. Aku merekam pernyataan dukunganku dan menguploadnya di youtube. Mungkin tidak banyak yang akan mengaksesnya, tapi setidaknya aku berharap bisa menginspirasi beberapa orang.

 

Two Months

Posted in Uncategorized on October 17, 2010 by silentsection

Tir,

Karena perbedaan jam, aku lupa kalau sudah tanggal 18 disana. Aku nggak tahu, apakah kamu ingat ada apa di tanggal 18. Tapi yang pasti, tanggal 18 selalu menjadi hari yang spesial buatku.

Dua bulan yang lalu, persis tanggal 18 Agustus, setelah maghrib. Itu saat paling indah yang pernah kualami. Akhirnya aku punya seseorang untuk menambatkan hati. Akhirnya ada tempat beristirahat setelah terbang tanpa henti.

Dari yang tadinya aku nggak percaya dengan LDR dan menolak orang-orang yang mendekatiku, kamu satu-satunya yang bisa membuatku percaya. Dari semuanya, kamu yang bisa meyakinkanku.

Pada masa awal, aku masih tidak bisa percaya kalau aku punya kamu. Kalau aku punya seseorang yang bisa kusebut pacar. Terasa terlalu indah untuk jadi kenyataan, tapi memang begitulah adanya.

Dan inilah long distance relationship itu. Dua bulan sudah hubungan ini berjalan, dan aku justru ada di tempat yang jauh. Aku kangen kamu, bin.

Aku kangen pelukanmu yang bisa menenangkan emosiku. Aku kangen memenuhi lenganku dengan keberadaanmu. Aku kangen makan bareng dan mencermati wajahmu dengan raut muka polos dan lucu itu.

Sekarang, aku cuma bisa memandangi cincin di jari manis ini. Cincin bertulis namamu.

Dua bulan bukan waktu yang lama, dan aku berharap kita bisa menjalani bulan-bulan selanjutnya. Tidak hanya bulan, aku berharap kita bisa menjalani tahun-tahun bersama.

Happy two months anniversary, dear star! I love you!

Gay Corner

Posted in Uncategorized on October 16, 2010 by silentsection

Sebagai seorang yang terbiasa dengan gaya hidup komunal di Indonesia, masa-masa awal tinggal di asrama Cambridge sangat tidak menyenangkan. Mau tidak mau, aku membandingkan gaya hidup asrama di Inggris dengan kos-kosan di Indonesia. Kebanyakan kos-kosan di Indonesia hubungan antar penghuninya terbilang cukup dekat. Bahkan, setiap orang bisa dengan bebas keluar masuk kamar masing-masing. Atau setidaknya, mereka saling kenal.

Ini? Suasana begitu sepi, senyap, tanpa suara. Semua pintu tertutup. Gimana bisa kenalan?? Tiga hari pertama rasanya menyesal tinggal disini. Serasa ada di rumah hantu. Setiap saat, kuping selalu berjaga-jaga, mendengar siapa tahu kamar depan terbuka dan bisa mengenal penghuninya. Ada 4 kamar di hall-ku, dan aku tidak tahu siapa saja penghuni kamar nomor 16, 17, dan 18.

Eh, di hari keempat, ada suara orang masuk ke kamar 18. Hore!!! Langsung saja pintu kubuka dan dengan sok ramah aku berkenalan. Cewek gendut dari Belgia. Ah, jauh dari harapan. Tadinya berharap cewek sexy atau cowok tampan pecinta lelaki juga. (Pikiran sudah melayang nggak jelas. Hehehehe!) Tapi sudahlah, daripada tidak ada teman.

Beberapa hari setelah itu, seorang teman memperkenalkan temannya yang kebetulan satu fakultas denganku. Cewek Cina manis (yang sayangnya sudah punya satu anak berumur 10 tahun) bernama Haiyun. Karena faktor fakultas, kami jadi berdiskusi dan janjian berangkat bersama. Seteah tanya-tanya di mana dia tinggal, ternyata Tante Haiyun ini penghuni kamar nomor 16. Waaaaa!

Suatu malam, ketika rasa penasaran tentang kehidupan LGBT di Cambridge menyerang (dan pas kebetulan ada acara di klub untuk pelajar LGBT), aku memberanikan diri untuk berangkat sendirian ke club. Malam-malam jam setengah 11. Eeh, sampai di club, ternyata aku bertemu dengan Charline, si cewek Belgia itu. Wahahahaha! Kami malah jadi lontang-lantung bersama.

Nah, selang beberapa hari, ada LGBT Welcoming Night khusus untuk penghuni asrama. Aku dan Charline berangkat bersama. Lumayan, ada juga tuh yang super cuuuuuuuuute! Untuk angkatan baru, yang terang-terangan open dan datang ke LGBT Welcoming Night ada 5 orang, dan Charline satu-satunya cewek yang datang. Nah, setelah kenalan dengan semuanya, hanya tersisa aku, Joel, si cowok Kanada, dan Phuong, cowok Vietnam yang sudah 3 tahun tinggal di asrama itu. Pembicaraan yang berlangsung sampai larut malam membuat kami bertiga merasa klop. Pulang bersama ke kamar masing-masing, betapa kagetnya aku waktu tahu bahwa Joel ternyata penghuni kamar 17!!!

Jadi, dalam empat kamar di hall kami, semuanya lengkap. Ada straight, ada gay, ada lesbi, dan ada bi. Kebetulan yang sangat menyenangkan. Dan semalam, sepulangnya kami bertiga dari acara seminar LGBT (iyaaaa, aku jadi aktivis LGBT disini), Charline memberi nama Hall kami Gay Corner. Niceeeeee!

Cincin

Posted in Uncategorized on September 27, 2010 by silentsection

Cukup mengejutkan mengetahui apa yang bisa dilakukan oleh sebuah cincin.

Yayank emang orang yang terlalu cuek. Kadang dia bisa tidak memberi kabar sama sekali, hingga membuatku sempat panas tinggi. (Mungkin terdengar lebay, tapi emang ini kejadian nyata) Well, dengan pola komunikasi seperti itu, tentu saja aku khawatir dengan komunikasi kami di masa depan. Apalagi jarak akan memisahkan kami berdua. Tentu akan susah menjaga perasaan antar negara.

Tapi semalam, kami memutuskan untuk membeli sepasang cincin. Tadinya sih mau beli barang kecil yang kembar, tapi karena susah mencari barang-barang lucu di Yogya, kami sempat putus asa. Sampai pada akhirnya, kami berdua sepakat membeli cincin itu.

Pagi ini, pada kencan terakhir kami, ia memberikan cincinku. Seketika itu juga kukenakan di jariku. Entah karena apa, rasanya pada saat itu, semua kekhawatiranku hilang. Cincin itu menjadi semacam pengikat bagi kami, atau setidaknya menjadi sesuatu yang bisa meyakinkanku bahwa segala sesuatunya akan berjalan dengan baik.

Mungkin beberapa orang akan berkata bahwa terlalu cepat bagi kami untuk saling bertukar cincin, tapi rasanya ini memang dibutuhkan. Aku mencoba meyakini ikatan kami ini, ikatan yang dilambangkan dengan sepasang cincin bergrafir nama kami….